-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

100 Hari Tanpa Arah: Gubernur Banten Andra Soni Gagal Menjawab Amanah Rakyat

Monday, 16 June 2025 | June 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-16T23:04:15Z


Oleh: Hakiki Hakim – Aktivis dan Pemerhati Kebijakan Publik dari Lebak

Banten Media Kriminalitas-Seratus hari pemerintahan Andra Soni sebagai Gubernur Banten bukanlah awal yang menjanjikan, melainkan potret suram kepemimpinan yang kehilangan arah, kehilangan kendali, dan kehilangan komitmen etis terhadap janji perubahan. Alih-alih membenahi tata kelola pemerintahan, Andra Soni justru terseret dalam arus pragmatisme politik yang menempatkan loyalitas di atas kompetensi.

Hingga hari ini, Provinsi Banten masih belum memiliki Sekretaris Daerah (Sekda) definitif. Sebuah kondisi yang secara struktural melumpuhkan roda koordinasi antarperangkat daerah. Fakta bahwa berkas seleksi Sekda dikembalikan oleh Kementerian Dalam Negeri karena dinilai cacat etik adalah tamparan keras bagi kredibilitas Panitia Seleksi dan tentu saja, tanggung jawab penuh Gubernur sebagai penanggung jawab akhir. Di sinilah letak akar krisis: manajemen talenta yang diabaikan, meritokrasi yang dikorbankan, dan praktik transaksional yang menguat.

14 jabatan eselon II hingga kini masih dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt), bahkan puluhan kepala bidang (kabid) strategis masih kosong. Birokrasi provinsi seperti berjalan dengan kaki pincang. Ini bukan sekadar disfungsi administratif, melainkan bentuk kelumpuhan sistemik akibat ketidakmampuan Gubernur mengeksekusi hak prerogatifnya secara visioner dan bertanggung jawab.

Akibat stagnasi struktural ini, proyek-proyek pembangunan prioritas tersendat. Contoh paling nyata adalah carut marutnya Rumah Sakit Cilograng di Kabupaten Lebak, yang hingga hari ini masih kekurangan tenaga medis dan sarana pendukung. Proyek ini sebelumnya dijanjikan menjadi ikon pelayanan kesehatan daerah perbatasan, tapi nyatanya tak lebih dari proyek mangkrak yang menyedot anggaran tanpa hasil.

Lebih jauh, janji efisiensi anggaran yang dielu-elukan Andra Soni saat kampanye kini terbukti ilusi. Tidak ada pemangkasan anggaran siluman, tidak ada transparansi belanja APBD, dan tidak ada reformasi pengadaan barang dan jasa yang nyata. Bahkan laporan masyarakat terkait dugaan korupsi di Sekretariat DPRD (Sekwan) Banten telah masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini adalah indikator bahwa praktik busuk anggaran tetap lestari di balik jargon “perubahan”.

Ironisnya, dalam situasi genting seperti ini, justru Plt Kepala Dinas Pendidikan membuat pernyataan diskriminatif yang menyebut warga Tangerang “kampungan”. Sebuah komentar yang tidak hanya mencederai etika kepemimpinan publik, tapi juga memperlihatkan arogansi birokrasi yang tak tersentuh disiplin dan evaluasi. Anehnya, Gubernur Andra Soni tetap bungkam, seolah memilih nyaman dalam diam, daripada bersikap sebagai pemimpin yang berani menegakkan norma publik.

Ketiadaan cetak biru pembangunan, nihilnya roadmap sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, serta tidak adanya instrumen pengukuran kinerja yang terpublikasi, membuat publik bertanya: apa sebenarnya yang dikerjakan Andra Soni selama 100 hari ini? Banten seolah dikemudikan tanpa kompas, tanpa arah, dan tanpa tanggung jawab moral.

Kegagalan ini bukan hanya soal teknokrasi, tetapi soal etika kepemimpinan. Ketika kekuasaan tidak ditujukan untuk melayani rakyat, maka yang lahir adalah stagnasi birokrasi, matinya inovasi, dan dominasi elitisme politik yang anti-kritik. Gubernur Andra Soni harus menyadari, bahwa jabatan adalah kontrak sosial, bukan privilese kekuasaan.

Sebagai pemerhati kebijakan publik dari Lebak, saya menyatakan dengan tegas: 100 hari ini adalah kegagalan total. Bukan karena terlalu cepat menilai, tapi karena dalam waktu pendek inilah karakter kepemimpinan diuji. Dan Andra Soni gagal membuktikan kapasitas, keberanian, dan konsistensi dalam menunaikan amanat rakyat Banten.

Sudah saatnya masyarakat Banten bersuara lebih lantang. Demokrasi tidak berjalan dengan kesabaran buta. Rakyat tidak butuh pemimpin yang sibuk merias citra. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata, arah yang jelas, dan kebijakan yang berpihak. Jika Gubernur tidak segera merespon kritik dengan perubahan nyata, maka rakyat punya hak moral dan politik untuk mengoreksi bahkan menggugat pemerintahan ini secara terbuka.

Jika awalnya saja sudah limbung, jangan salahkan rakyat bila nanti mereka memutuskan untuk mengambil kembali mandat yang pernah mereka berikan.(Red)

×
Berita Terbaru Update