Menggabungkan mesin pendingin ruangan dengan komputer dan alat audio studio dalam satu KAK adalah bentuk pelanggaran prinsip efisiensi dan efektivitas belanja negara. Ini bukan sekadar soal kelalaian teknis, tapi lebih menyerupai praktik licik yang sengaja didesain untuk memenangkan satu pihak rekanan. Jika benar, maka tindakan ini bukan hanya menyalahi asas transparansi dan akuntabilitas pengadaan barang/jasa pemerintah, tapi juga dapat dikualifikasikan sebagai rekayasa proyek untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Plt Kepala Dinas Pariwisata, Hj.Linda Rohyati, sebagai penanggung jawab tertinggi kegiatan, tidak bisa terus-menerus bersembunyi dalam diam. Ketika dikonfirmasi awak media, Linda justru memilih bungkam dan melempar tanggung jawab kepada staf bernama Heru, yang secara mengejutkan mengaku bahwa kode rekening pengadaan berbeda, seolah itu cukup untuk menutup dugaan pelanggaran. Padahal, yang dipersoalkan bukan hanya kode rekening, tapi skema penyatuan dalam KAK yang membuka ruang manipulasi tender.
Direktur Eksekutif DPP Front Pemantau Krimnalitas Dj.Syahrial Deny.S,Ip. Saat dimintai komentarnya mengatakan bahwa dirinya berhak mencurigai bahwa telah terjadi persekongkolan antara oknum pejabat di Dispar Banten dengan pengusaha rekanan. Indikasi ini bukan tanpa dasar, karena ada beberapa rekan aktivis yang menyampaikan bahwa praktik semacam ini jamak terjadi di tubuh birokrasi yang telah kehilangan etika dan keberpihakan pada kepentingan publik. Jadi jika penyatuan KAK ini dilakukan dengan kesadaran penuh untuk meloloskan satu penyedia jasa tertentu, maka sanksinya tidak main-main—UU Tipikor sudah sangat jelas mengatur tentang penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Deny juga mengatakan bahwa kejanggalan semacam ini tidak bisa dibiarkan. Dispar Banten harus segera diaudit oleh Inspektorat maupun BPK. Bila terbukti ada pelanggaran administratif maupun indikasi pidana, maka KPK harus turun tangan. Tidak boleh ada kompromi terhadap penyalahgunaan anggaran, sekecil apa pun itu, apalagi jika terbukti telah menjadi modus sistematis yang digunakan oleh oknum pejabat Dispar untuk menyiasati regulasi.
Banten butuh birokrat yang bersih dan bekerja dengan akal sehat, bukan pejabat yang menjadikan jabatan sebagai alat main proyek. Plt Kadispar Linda Rohyati harus segera memberikan penjelasan terbuka kepada publik. Diam adalah bentuk pengakuan. Jika memang bersih, mengapa takut berbicara?
Jika tidak ada langkah korektif dari internal Pemprov Banten dalam waktu dekat, maka patut diduga bahwa Gubernur pun membiarkan adanya praktik korup semacam ini merajalela. Dan jika itu yang terjadi, maka kami, masyarakat sipil, aktivis, dan akademisi, tidak akan diam. Jalan pelaporan ke aparat penegak hukum akan menjadi keniscayaan. Sudah saatnya permainan kotor dalam birokrasi Banten dihentikan—dengan perlawanan hukum, pengawasan publik, dan advokasi yang tak kenal kompromi.(Red)