Bella Rusmiyanti
Pegiat PATTIRO Banten
Setelah sebelumnya publik dikejutkan oleh temuan pendapatan “fiktif” dalam struktur APBD Provinsi Banten 2025, kini muncul kejanggalan baru yang tak kalah mencengangkan: lonjakan pembiayaan daerah yang sangat tidak wajar, dari Rp4,037 miliar menjadi Rp305 miliar hanya dalam satu tahun anggaran — naik hingga 7.459% atau 74 kali lipat.
Kenaikan ini terjadi di tengah fakta bahwa target pendapatan daerah justru sedang dikoreksi turun, dari Rp11,837 triliun menjadi Rp10,614 triliun, atau berkurang Rp1,223 triliun. Dalam logika perencanaan anggaran yang sehat, koreksi pendapatan seharusnya diikuti oleh penyesuaian belanja dan pembiayaan secara proporsional. Namun dalam APBD Banten 2025, koreksi pendapatan justru disusul dengan peningkatan pembiayaan secara drastis dan tanpa penjelasan memadai.
Lonjakan pembiayaan daerah sebesar Rp305 miliar ini menjadi tanda tanya besar, baik terkait dari mana sumber dananya maupun untuk apa dana tersebut akan digunakan. Apakah berasal dari SiLPA, dana cadangan, atau pos lain yang dialihkan? Tanpa penjelasan terbuka, publik tidak dapat menilai apakah pembiayaan sebesar ini benar-benar mendukung prioritas pembangunan, atau justru menjadi ruang manuver untuk pengeluaran yang tidak mendesak.
Kondisi ini mempertegas bahwa postur fiskal APBD Banten 2025 semakin menjauh dari prinsip akuntabilitas dan rasionalitas. Pembiayaan tidak boleh dijadikan instrumen untuk menambal pendapatan yang keliru atau menutupi defisit tersembunyi akibat asumsi pendapatan yang terlalu optimistis.
Perlu diingat, sebelumnya PATTIRO Banten telah mengungkap adanya “APBD Hoax” senilai Rp1,2 triliun pada pos Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Temuan itu menunjukkan betapa lemahnya perencanaan APBD di Provinsi Banten. Jika perencanaan pendapatan saja bisa dimasukkan angka yang tidak realistis, maka lonjakan pembiayaan daerah yang fantastis ini harus benar-benar dibuka ke publik agar tidak menjadi pola berulang dari perencanaan “hoax” yang merugikan rakyat.
PATTIRO Banten memandang bahwa lonjakan pembiayaan ini adalah sinyal kegagalan perencanaan anggaran dan lemahnya kontrol fiskal di internal Pemprov. Risiko dari pembiayaan tak transparan ini sangat nyata: belanja program prioritas menjadi tidak tepat sasaran, SiLPA terus membengkak tanpa manfaat, dan masyarakat kembali dikorbankan akibat perencanaan keuangan yang asal-asalan.
Kami mendesak:
● DPRD Provinsi Banten segera memanggil TAPD untuk menjelaskan lonjakan pembiayaan ini secara terbuka dalam forum publik;
● BPK dan BPKP melakukan audit investigatif terhadap pos pembiayaan dalam APBD 2025;
● Pemprov Banten membuka data sumber pembiayaan sebesar Rp305 miliar secara rinci;
● Penyusunan APBD Perubahan 2025 dilakukan secara partisipatif, transparan, dan berbasis realisasi keuangan yang aktual, bukan proyeksi yang mengada-ada.
● BAPENDA membuka kepada publik terkait nilai koreksi yang sama dengan temuan pendapatan hoax Rp 1,2T.(Red)